Pernah suatu masa itu,
Lampau,
Hanya bayangan yang ada,
Aku tau, namun aku takut
mengakhiri,
Hingga benar-benar tinggal
masa.
LALINE'S POV
Aku masih
saja menatap sesorang didepanku ini tanpa berkedip. Wajahnya putih
dan bersih ditambah rambutnya yang dispike menambah kesan nakal. Dia
masih saja berceloteh apa saja yang dianggapnya menarik untuk
diperbincangkan.
“Kecil,
dengerin gue gak sih?”
Kak Raga
melambaikan tanganya didepan mukaku. Aku kaget. Ya sosok didepanku
tadi bernama Raga Radhitya. Kakak kelasku sekaligus merangkap menjadi
kakak yang aku akui sendiri. Maksudnya, dia sudah kuanggap kakakku
sendiri.
“Iya gue
ndengerin kak!” aku mulai beralibi.
Walau aku
dan Kak Raga sudah akrab, tetap saja gengsiku terhadap sosok ini
masih tinggi.
“Jadi
gimana menurut loe?”
Jederr, mati
aku. Aku tadi tidak mendengarkanya berceloteh hingga aku tidak tau
apa yang dibicarakanya. Mati. Mati. Mati.
“Gue
ngikut aja, kak!”
“Ah, elo
gitu, gak seru tau, Cil”
Dia
memanyunkan mulutnya, kelihatan mais sekali. Aku tau dia ngambek.
Walaupun kak Raga itu cowok tapi manjanya juga gak karuan, apalagi
saat denganku. Tipe cowok pemikat wanita banget.
“Iya
deh!”
“Iya deh
apa Kecil, ngomong yang bener dong?”
Sekarang
wajahnya sangat memuakkan.
“Jujur ya
kak, gue gak ngedengerin lo tadi?”
“Lhah,
iyakan? Elo nglamunin gue ya Cil?”
Aku
tersedak. Kaget setengah mati mendengar apa yang barusan dikatakanya.
Tepat sasaran sekali dia.
“Males
tau gak sih kak nglamunin elo itu!”
“Jadi,
gue besok mau ngerjain Si Perawan Tua itu, habisnya tadi gue dihukum
ama dia!”
“Kakak,
namanya Bu Aya, bukan Perawan Tua. Itu jugakan salah lo, ngapain juga
elo nglemparin dia kertas bertuliskan “Will You Marry Me?”
Dia
terbahak-bahak. Hingga memegangi perutnya. Aku manyun, sungguh
ekspresi yang paling tak kusuka dari dia.
“Ngapain
ketawa!” kataku sedikit erteriak
“Hahhaha,
kenapa elo sewot sih, sayang?” katanya sambil mencuil daguku.
“Idih,
najis gue kak?”
Tawanya
makin keras. Sudah aku kira aku masuk peragkapnya. Aku sebal, namun
aku juga suka. Dia bener-benar membuatku lupa dengan daratan. Aku
mulai tergila-gila denganya. Hei, apa yang tadi aku katakan?.
Tawanya
semakin keras, namun tak lama berselang tawanya terhenti. Dia
menatapku lekat. Aku semakin anas dingin ditatap seperti itu. Dia
masih saja menatapku.
“Dek, elo
cantik juga ya waktu marah?”
“Jayus!”
“Hahahahahahaha”,
dia tertawa lagi.
Aku teringat
saat pertama bertemu denganya,
-FLASHBACK
ON-
Hari ini
hari pertama ulangan tengah semesteran disekolahku, sekaligus pertama
kali aku mengadakan ulangan dibangku SMA. Aku sudak ketar-katir
mengingat siapa teman duduku nanti. Apalagi sistem diSMA ini aneh
sekali. Untuk kelas 7 akan digabungkan dengan kelas 8 sesuai absen,
contohnya anak kelas 10(1) berabsen 01 akan didudukkan dengan anak
11(1) absen 01 pula, begitu seterusnya.
Aku
berjalan menuju ruangan 07 yang ada sebelah taman belakang sekolah.
Aku menuju kelas itu dengan masih berkomat-kamit membaca beberapa
rumus fisika. Aku sampai dibangkuku ketika aku sudah menemukanya.
Belakan pojok sebelah cendela, sip. Tempat paling aman sedunia. Aku
baru ingat sesuatu, buru-buru kulihat kartu siswa yang ditempet
dimejaku. Disebelah kiri copian kartu siswaku dan disebelah kanan
copian milik “Raga Radhitya”. Ah cowok, pikirku.
“kringggggg”bel
berbunyi, tak selang lama masuk beberapa gerombolan siswa cowok yang
kuyakini mereka kelas 11. Aku tidak terlalu peduli dengan gerombolan
itu aku masih saja sibuk dengan rumus fisika. Hingga terasa seseorang
menghempaskan tubuhnya disebelahku. Aku menengok kearahnya, dia
memandangku. Sesaat aku membeku, dia sosok yang ganteng sekali.
Manis, putih, ganteng, cool, perfecto.
“Raga,
Raga Radhitya” dia mengulurkan tanganya dengan memamerkan deretan
gigi putihnya.
“Laline,
Randya-“
“Iya gue
udah tau, nama lo Ralalinedyary L- Haduh itu bacanya apa? Nama lo
sulit banget sih?” katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Aku masih membeku melihat sosok disampingku ini,
sungguh-sunggu friendly sekali.
“bacanya
Elvodessa, tulisanya ini!” kataku sambil menunjung deretan nama
yang ada dibangku ku.
“Oh
Lvodessa bacanya!, lo lahir diukraina?”
“Kok lo
tau?”
“Gue
pernah kesana, ke Odessa tepatnya ke laut hitam, ke Kiev, sama ke
itulo yang terkenal sama ski nya. Jadi nama lo gabungan kota ya, gue
baru ngeh?”
“Iya.
L’vov maksud lo?”
“Iya
L’vov”
Aku takjub,
dia sangat mengenali negara kesukaanku itu. Aku juga sangat menyukai
sikapnya itu, walau kebanyakan cowok pendiam itu cool, namun cowok
seru itu lebih mengasyikan. Kami mulai tidak canggung, serasa kenal
lama. Aku berani jamin, pasti temanya banyak, atau pacarnya juga
banyak.
Kami
mulai berbincang tentang Ukraina, hingga ke negara liburan paling
asyik. Aku sedikit tidak terima saat dia berkata bahwa Paris tidak
lebih bagus dibandingkan Las Vegas. Namun, perbincangan itu tak
bertahan lama karena guru pengawas telah datang.
-FLASHBACK
OFF-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar