Cari Blog Ini

Minggu, 10 Juni 2012

Rindu

buat apa menjaring rindu
jika, rindu selalu datang
buat apa menunggu rindu
jika, rindu hadir seperti senja

Taukah apa kau rindu?
rindu itu yang ada di jantungmu
rindu itu yang meracuni otakku
rindu itu membuatmu mengagumi,
Senja, Hujan, dan Mendung

Dia..:)

dia...
menyapa dalam duka tak bertepi
menatap luka dalam gelap gulita hari
namun,
dia...
menetes setetes embun
segarr...
andaikan luka itu dapat hanyut bersama setetes embun tadi
ah...
mana ada yang seperti itu?

Rabu, 07 Maret 2012

Sandiwara #1


Sudah ku katakan,
Jangan menengok kebelakang,
Karna hanya aku yang ada dibelakangmu,
Mengintai setiap gerakan bayanganmu,
Aku hanya dengan bayangmu saja,
Tenanglah sedikit, aku tidak meminta lebih.

Sudah ku katakan,
Jangan merenda kenangan itu lagi,
Karna aku yang menjagamu,
Aku takut terkena tusuk rendamu,
Pasti akan semakin sakit,
Ku mohon berhentilah merenda.

Sudah kukatakan berulang kali,
Hentikan sandiwaramu itu,
Aku tahu kau aktor hebat,
Tiada guna kau bersandiwara,
Jadi untuk apa kau bersandiwara selama ini?

Minggu, 26 Februari 2012

Khianati saja #1


                Entah sudah berapa lama aku duduk terdiam dipojok kamar. Menagisi  semua yang telah terjadi padaku. Mama, papa, Orang munafik itu, dia, serta sahabatku itu. Semua orang seperti bekerja sama membuatku kesal. Aku benci hidupku sendiri.
      Pernah beberapa kali aku mencoba  utuk pergi menanggalkan kesedihanku ini, namun hasilnya tetap sama yaitu Gagal. Entah seperti apa niat dan tekadku ini, hasilnya tetap sama. Mungkin ini memang sudah takdirku?.
      Entahlah, akan kucoba menguatka hati ini lagi! Semoga saja berhasil.

      “’Khiala, ayo sarapan!”, teriak Ina dari belakang pintu kamarku.
      “Bentar Ina!”
      “Cepetan mama papa sudah nunggu!”
      “Iyappp Ina”
Ina adalah sebutanku untuk tante Irena. Kata mama aku bisa memangil tante Irena dengan Ina karena saat aku kecil saudaraku yang dari Padang memanggilnya Ina, jadi aku ikut-ikutan. Ina adalah saudara tiri mamaku. Jadi dulu itu ayah mama mengadopsi Ina dari panti asuhan. Jadi Ina sama sekali tidak mempunyai persamaan genetik denganku.
Ina sangat baik denganku, beliau sangat keibuan. Umurnya baru 30 umurnya lima tahun lebih muda dari mama. Ina belum mempunyai suami (lagi) karena memang masih satu tahun belakangan ini Ina bercerai dengan suamianya dengan alasan tidak jelas. Aku kasihan dengan Ina-ku.
***
Kenapa harus orag-orang yang aku percayai yang mengkhianatiku. Kenapa harus mereka, Tuhan?. Ketika aku mengalami ini satu per satu rasanya aku ada diambang batas kesadaranku, aku tidak dapat mencerna setiap peristiwa ini. Mustahil bagiku. Aku belum dan tidak akan bisa menerima ini semua. Mana bisa seorang anak manja seperti ku merasa kehilangan?. Apalagi tidak pernah seumur hidupku diajari tentang kehilangan. Semua masih lengkap, sebelum satu per satu peristiwa ini terjadi.

“La, Khiala gue minjem catetan lo dong?”
Aku menegang kaget saat seseorang menepuk bahuku. Suara itu, suara yang sangat aku sukai. Diakah yang menepuk bahuku tadi?.
      “Khiala!”, sentaknya sambil menjambak kecil rambutku.
      “Apa sih, Ga”, sentakku sambil menoleh kebelakang bangkuku.
      “Gue minjem catetan fisika. Habis tadi Bu Kurnia dektenya cepet banget!”jawabnya sambil cengar-cengir. Nampak sepasang lesung pipi di kedua pipinya. Aku berbalik mengambil catatan fisika yang ada di atas mejaku.
      “Nih. Gak boleh rusak, kucel, atau sobek!”, kataku sambil menyerahkan buku.
      Tangan kananya mengambil buku yang aku sodorkan, sedang tangan kirinya mengusap pelan puncak kepalaku. “Sippp”, katanya.
Aku menegang seketika. Ragu aku sunggingkan senyumku. Dia nampak biasa saja, seolah sudah biasa melakukan ini ke setiap orang. Sedang aku, aku benar benar hampir pingsan tak percaya dengan apa yang barusan dilakukanya. Aku seperti terbang tinggi, tinggi sekali hingga aku tak bisa turun.
      Sepanjang jam pelajaran aku senyum senyum saja, sehingga teman sebangkuku, Lila, mulai curiga.
      “Lo masih normalkan, La?”tanyanya dengan mimik muka ragu.
      “Masih dong?”, jawabku, tak lupa sebuah senyum lebar aku tampilkan.
      “Lo kenapa sih, La?”, tanyanya lagi seperti tak puas dengan jawabanku barusan.
      “Gue udah bilang gak papa!”
Lila mulai percaya, itu terbukti karena dia sekarang sudah mulai fokus ke papan tulis. Dan aku, jangan tanya aku lagi, aku masih terbang mengingat kejadian tadi.
      Rega, ya dia bernama Rega. Fahrega Wirastama. Dia adalah ketua kelas sekaligus ketua 2 OSIS di SMAku. Dia bertubuh atlentis, tinggi, kulitnya netral (tidak putih dan tidak coklat), wajahnya menyiratkan kebandelan dan kejailan, bermata bening, rambut cenderung kaku sehingga kelihatan seperti spike, jago main basket, pinter fisika, dan tak lupa dia punya dua lesung pipi yang samar. Manis, cool, nakal yang manis dan ramah. Artis pun kalah denganya.
      Sayangnya, Rega mempunyai beberapa list mantan. Dia tidak bisa dibilang playboy, karena dia masih kalah dengan Hendy-playboy sekolahku. Mantan-mantanya kebanyakan masuk katagori populer. Dan aku mulai menyukainya sejak lama. Sejak dia mulai memberiku satu hal baru yang sebelumnya tak pernah ku tau. Jika ada yang bertanya padaku, apa yang paling kamu sukai dalam hidup ini? Aku akan menjawab bahwa aku menyukai gitar dan cerita detektif. Iya, sejak Rega mengenalkan padaku semua hal itu.
          

Sabtu, 18 Februari 2012

Berakhir saja.


Jika memang akhirnya harus kehilangan,
Mengapa harus dipertemukan.
Jika hanya akan melukai,
Mengapa harus dicintai
Sebenarnya, mengetahui sejak awal,
Namun takut mengakhiri
Alasan apa yang dinanti,
Jika akhirnya jawaban telah didepan mata
Bukan masalah hati,
Hanya masalah kepercayaan
Jika kepercayanlah yang salah
Memang harus dirubah,
Dan jika itu berarti tiada kesempatan
Pergi dan akhiri saja.
Jika hati tetap ditempat
Bunuh dan kubur
Agar tiada luka yang semakin parah,
Agar tiada waktu terbuang sia.

 

Jumat, 17 Februari 2012

Suatu itu


Pernah suatu masa itu,
Lampau,
Hanya bayangan yang ada,
Aku tau, namun aku takut mengakhiri,
Hingga benar-benar tinggal masa.

LALINE'S POV
Aku masih saja menatap sesorang didepanku ini tanpa berkedip. Wajahnya putih dan bersih ditambah rambutnya yang dispike menambah kesan nakal. Dia masih saja berceloteh apa saja yang dianggapnya menarik untuk diperbincangkan.
“Kecil, dengerin gue gak sih?”
Kak Raga melambaikan tanganya didepan mukaku. Aku kaget. Ya sosok didepanku tadi bernama Raga Radhitya. Kakak kelasku sekaligus merangkap menjadi kakak yang aku akui sendiri. Maksudnya, dia sudah kuanggap kakakku sendiri.
“Iya gue ndengerin kak!” aku mulai beralibi.
Walau aku dan Kak Raga sudah akrab, tetap saja gengsiku terhadap sosok ini masih tinggi.
“Jadi gimana menurut loe?”
Jederr, mati aku. Aku tadi tidak mendengarkanya berceloteh hingga aku tidak tau apa yang dibicarakanya. Mati. Mati. Mati.
“Gue ngikut aja, kak!”
“Ah, elo gitu, gak seru tau, Cil”
Dia memanyunkan mulutnya, kelihatan mais sekali. Aku tau dia ngambek. Walaupun kak Raga itu cowok tapi manjanya juga gak karuan, apalagi saat denganku. Tipe cowok pemikat wanita banget.
“Iya deh!”
“Iya deh apa Kecil, ngomong yang bener dong?”
Sekarang wajahnya sangat memuakkan.
“Jujur ya kak, gue gak ngedengerin lo tadi?”
“Lhah, iyakan? Elo nglamunin gue ya Cil?”
Aku tersedak. Kaget setengah mati mendengar apa yang barusan dikatakanya. Tepat sasaran sekali dia.
“Males tau gak sih kak nglamunin elo itu!”
“Jadi, gue besok mau ngerjain Si Perawan Tua itu, habisnya tadi gue dihukum ama dia!”
“Kakak, namanya Bu Aya, bukan Perawan Tua. Itu jugakan salah lo, ngapain juga elo nglemparin dia kertas bertuliskan “Will You Marry Me?”
Dia terbahak-bahak. Hingga memegangi perutnya. Aku manyun, sungguh ekspresi yang paling tak kusuka dari dia.
“Ngapain ketawa!” kataku sedikit erteriak
“Hahhaha, kenapa elo sewot sih, sayang?” katanya sambil mencuil daguku.
“Idih, najis gue kak?”
Tawanya makin keras. Sudah aku kira aku masuk peragkapnya. Aku sebal, namun aku juga suka. Dia bener-benar membuatku lupa dengan daratan. Aku mulai tergila-gila denganya. Hei, apa yang tadi aku katakan?.
Tawanya semakin keras, namun tak lama berselang tawanya terhenti. Dia menatapku lekat. Aku semakin anas dingin ditatap seperti itu. Dia masih saja menatapku.
“Dek, elo cantik juga ya waktu marah?”
“Jayus!”
“Hahahahahahaha”, dia tertawa lagi.
Aku teringat saat pertama bertemu denganya,
-FLASHBACK ON-
Hari ini hari pertama ulangan tengah semesteran disekolahku, sekaligus pertama kali aku mengadakan ulangan dibangku SMA. Aku sudak ketar-katir mengingat siapa teman duduku nanti. Apalagi sistem diSMA ini aneh sekali. Untuk kelas 7 akan digabungkan dengan kelas 8 sesuai absen, contohnya anak kelas 10(1) berabsen 01 akan didudukkan dengan anak 11(1) absen 01 pula, begitu seterusnya.
Aku berjalan menuju ruangan 07 yang ada sebelah taman belakang sekolah. Aku menuju kelas itu dengan masih berkomat-kamit membaca beberapa rumus fisika. Aku sampai dibangkuku ketika aku sudah menemukanya. Belakan pojok sebelah cendela, sip. Tempat paling aman sedunia. Aku baru ingat sesuatu, buru-buru kulihat kartu siswa yang ditempet dimejaku. Disebelah kiri copian kartu siswaku dan disebelah kanan copian milik “Raga Radhitya”. Ah cowok, pikirku.
“kringggggg”bel berbunyi, tak selang lama masuk beberapa gerombolan siswa cowok yang kuyakini mereka kelas 11. Aku tidak terlalu peduli dengan gerombolan itu aku masih saja sibuk dengan rumus fisika. Hingga terasa seseorang menghempaskan tubuhnya disebelahku. Aku menengok kearahnya, dia memandangku. Sesaat aku membeku, dia sosok yang ganteng sekali. Manis, putih, ganteng, cool, perfecto.
“Raga, Raga Radhitya” dia mengulurkan tanganya dengan memamerkan deretan gigi putihnya.
“Laline, Randya-“
“Iya gue udah tau, nama lo Ralalinedyary L- Haduh itu bacanya apa? Nama lo sulit banget sih?” katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku masih membeku melihat sosok disampingku ini, sungguh-sunggu friendly sekali.
“bacanya Elvodessa, tulisanya ini!” kataku sambil menunjung deretan nama yang ada dibangku ku.
“Oh Lvodessa bacanya!, lo lahir diukraina?”
“Kok lo tau?”
“Gue pernah kesana, ke Odessa tepatnya ke laut hitam, ke Kiev, sama ke itulo yang terkenal sama ski nya. Jadi nama lo gabungan kota ya, gue baru ngeh?”
“Iya. L’vov maksud lo?”
“Iya L’vov”
Aku takjub, dia sangat mengenali negara kesukaanku itu. Aku juga sangat menyukai sikapnya itu, walau kebanyakan cowok pendiam itu cool, namun cowok seru itu lebih mengasyikan. Kami mulai tidak canggung, serasa kenal lama. Aku berani jamin, pasti temanya banyak, atau pacarnya juga banyak.
Kami mulai berbincang tentang Ukraina, hingga ke negara liburan paling asyik. Aku sedikit tidak terima saat dia berkata bahwa Paris tidak lebih bagus dibandingkan Las Vegas. Namun, perbincangan itu tak bertahan lama karena guru pengawas telah datang.
-FLASHBACK OFF-