Entah sudah berapa lama aku duduk terdiam dipojok kamar.
Menagisi semua yang telah terjadi
padaku. Mama, papa, Orang munafik itu, dia, serta sahabatku itu. Semua orang
seperti bekerja sama membuatku kesal. Aku benci hidupku sendiri.
Pernah beberapa kali aku mencoba utuk pergi menanggalkan kesedihanku ini,
namun hasilnya tetap sama yaitu Gagal. Entah seperti apa niat dan tekadku ini,
hasilnya tetap sama. Mungkin ini memang sudah takdirku?.
Entahlah, akan kucoba menguatka hati ini
lagi! Semoga saja berhasil.
“’Khiala, ayo sarapan!”, teriak Ina dari
belakang pintu kamarku.
“Bentar Ina!”
“Cepetan mama papa sudah nunggu!”
“Iyappp Ina”
Ina adalah sebutanku untuk tante Irena. Kata mama aku bisa memangil
tante Irena dengan Ina karena saat aku kecil saudaraku yang dari Padang
memanggilnya Ina, jadi aku ikut-ikutan. Ina adalah saudara tiri mamaku. Jadi
dulu itu ayah mama mengadopsi Ina dari panti asuhan. Jadi Ina sama sekali tidak
mempunyai persamaan genetik denganku.
Ina sangat baik denganku, beliau sangat keibuan. Umurnya baru 30
umurnya lima tahun lebih muda dari mama. Ina belum mempunyai suami (lagi)
karena memang masih satu tahun belakangan ini Ina bercerai dengan suamianya
dengan alasan tidak jelas. Aku kasihan dengan Ina-ku.
***
Kenapa
harus orag-orang yang aku percayai yang mengkhianatiku. Kenapa harus mereka,
Tuhan?. Ketika aku mengalami ini satu per satu rasanya aku ada diambang batas
kesadaranku, aku tidak dapat mencerna setiap peristiwa ini. Mustahil bagiku.
Aku belum dan tidak akan bisa menerima ini semua. Mana bisa seorang anak manja
seperti ku merasa kehilangan?. Apalagi tidak pernah seumur hidupku diajari
tentang kehilangan. Semua masih lengkap, sebelum satu per satu peristiwa ini
terjadi.
“La,
Khiala gue minjem catetan lo dong?”
Aku menegang kaget saat seseorang
menepuk bahuku. Suara itu, suara yang sangat aku sukai. Diakah yang menepuk
bahuku tadi?.
“Khiala!”,
sentaknya sambil menjambak kecil rambutku.
“Apa
sih, Ga”, sentakku sambil menoleh kebelakang bangkuku.
“Gue
minjem catetan fisika. Habis tadi Bu Kurnia dektenya cepet banget!”jawabnya
sambil cengar-cengir. Nampak sepasang lesung pipi di kedua pipinya. Aku
berbalik mengambil catatan fisika yang ada di atas mejaku.
“Nih.
Gak boleh rusak, kucel, atau sobek!”, kataku sambil menyerahkan buku.
Tangan
kananya mengambil buku yang aku sodorkan, sedang tangan kirinya mengusap pelan
puncak kepalaku. “Sippp”, katanya.
Aku
menegang seketika. Ragu aku sunggingkan senyumku. Dia nampak biasa saja, seolah
sudah biasa melakukan ini ke setiap orang. Sedang aku, aku benar benar hampir
pingsan tak percaya dengan apa yang barusan dilakukanya. Aku seperti terbang
tinggi, tinggi sekali hingga aku tak bisa turun.
Sepanjang jam pelajaran aku senyum senyum
saja, sehingga teman sebangkuku, Lila, mulai curiga.
“Lo masih normalkan, La?”tanyanya dengan
mimik muka ragu.
“Masih dong?”, jawabku, tak lupa sebuah
senyum lebar aku tampilkan.
“Lo kenapa sih, La?”, tanyanya lagi
seperti tak puas dengan jawabanku barusan.
“Gue udah bilang gak papa!”
Lila
mulai percaya, itu terbukti karena dia sekarang sudah mulai fokus ke papan
tulis. Dan aku, jangan tanya aku lagi, aku masih terbang mengingat kejadian
tadi.
Rega, ya dia bernama Rega. Fahrega
Wirastama. Dia adalah ketua kelas sekaligus ketua 2 OSIS di SMAku. Dia bertubuh
atlentis, tinggi, kulitnya netral (tidak putih dan tidak coklat), wajahnya
menyiratkan kebandelan dan kejailan, bermata bening, rambut cenderung kaku
sehingga kelihatan seperti spike, jago main basket, pinter fisika, dan tak lupa
dia punya dua lesung pipi yang samar. Manis, cool, nakal yang manis dan ramah.
Artis pun kalah denganya.
Sayangnya, Rega mempunyai beberapa list
mantan. Dia tidak bisa dibilang playboy, karena dia masih kalah dengan
Hendy-playboy sekolahku. Mantan-mantanya kebanyakan masuk katagori populer. Dan
aku mulai menyukainya sejak lama. Sejak dia mulai memberiku satu hal baru yang sebelumnya tak pernah ku tau. Jika ada yang bertanya padaku, apa yang paling kamu sukai dalam hidup ini? Aku akan menjawab bahwa aku menyukai gitar dan cerita detektif. Iya, sejak Rega mengenalkan padaku semua hal itu.